Loading...

Wednesday 11 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE


A. Pengertian

Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).

B. Klasifikasi stroke

Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :
1. stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2. stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :
  1. TIA’S (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
  1. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..
  1. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
  1. Stroke Komplit
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.

C. Etiologi

Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1. Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3. Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
4. Diabetes mellitus (DM)
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6. Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
7. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
10. kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.

D. Patofisiologi

1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.

E. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
  1. Pengaruh terhadap status mental
· Tidak sadar : 30% – 40%
· Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar
  1. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
· Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
· Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
· Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)
  1. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
· hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%)
· inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena
  1. Daerah arteri serebri posterior
· Nyeri spontan pada kepala
· Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)
  1. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
· Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
· Hemiplegia alternans atau tetraplegia
· Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
  1. Stroke hemisfer kanan
· Hemiparese sebelah kiri tubuh
· Penilaian buruk
· Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
  1. stroke hemisfer kiri
· mengalami hemiparese kanan
· perilaku lambat dan sangat berhati-hati
·
· kelainan bidang pandang sebelah kanan
· disfagia global
· afasia
· mudah frustasi

F. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
  1. laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
  2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
  3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
  4. angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu

G. Penatalaksanaan medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
  1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
  2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
  3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
  4. Bed rest
  5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
  6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
  7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
  8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
  9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
  10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
  11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
· Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
· Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN STROKE
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya refleks batuk)
Pasien mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.
Kriteria hasil :
a. Bunyi nafas vesikuler
b. RR normal
c. Tidak ada tanda-tanda sianosis dan pucat
d. Tidak ada sputum
1. Auskultasi bunyi nafas
2. Ukur tanda-tanda vital
3. Berikan posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah keperawatan lain)
4. Lakukan penghisapan lender dan pasang OPA jika kesadaran menurun
5. Bila sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam
6. Kolaborasi:
· Pemberian ogsigen
· Laboratorium: Analisa gas darah, darah lengkap dll
· Pemberian obat sesuai kebutuhan
2.
Penurunan perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi pembuluh darah serebral
Perfusi serebral membaik
Kriteria hasil :
a. Tingkat kesadaran membaik (GCS meningkat)
b. fungsi kognitif, memori dan motorik membaik
c. TIK normal
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Tidak ada tanda perburukan neurologis
f.
1. Pantau adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral :GCS, memori, bahasa respon pupil dll
2. Observasi tanda-tanda vital (tiap jam sesuai kondisi pasien)
3. Pantau intake-output cairan, balance tiap 24 jam
4. Pertahankan posisi tirah baring pada posisi anatomis atau posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat
5. Hindari valsava maneuver seperti batuk, mengejan dsb
6. Pertahankan ligkungan yang nyaman
7. Hindari fleksi leher untuk mengurangi resiko jugular
8. Kolaborasi:
· Beri ogsigen sesuai indikasi
· Laboratorium: AGD, gula darah dll
· Penberian terapi sesuai advis
· CT scan kepala untuk diagnosa dan monitoring
3.
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria hasil :
a. tidak ada kontraktur atau foot drop
b. kontraksi otot membaik
c. mobilisasi bertahap
1. Pantau tingkat kemampuan mobilisasi klien
2. Pantau kekuatan otot
3. Rubah posisi tiap 2 jan
4. Pasang trochanter roll pada daerah yang lemah
5. Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV stabil
6. Libatkan keluarga dalam memobilisasi klien
7. Kolaborasi: fisioterapi
4.
Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral bicara
Komunikasi dapat berjalan dengan baik
Kriteria hasil :
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan
b. Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
c. Pembicaraan pasien dapat dipahami
1. Evaluasi sifat dan beratnya afasia pasien, jika berat hindari memberi isyarat non verbal
2. Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu diulang
3. dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara
4. Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
5. Latih otot bicara secara optimal
6. Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
7. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
5.
(Risiko) gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak adekuat
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
b. Berat badan dalam batas normal
c. Conjungtiva ananemis
d. Tonus otot baik
e. Lab: albumin, Hb, BUN dalam batas normal
1. Kaji factor penyebab yang mempengaruhi kemampuan menerima makan/minum
2. Hitung kebutuhan nutrisi perhari
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Catat intake makanan
5. Timbang berat badan secara berkala
6. Beri latihan menelan
7. Beri makan via NGT
8. Kolaborasi : Pemeriksaan lab(Hb, Albumin, BUN), pemasangan NGT, konsul ahli gizi
6.
Perubahan persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi, perubahan psikologi
Persepsi dan kesadaran akan lingkungan dapat dipertahankan
1. Cari tahu proses patogenesis yang mendasari
2. Evaluasi adanya gangguan persepsi: penglihatan, taktil
3. Ciptakn suasana lingkungan yang nyaman
4. Evaluasi kemampuan membedakan panas-dingin, posisi dan proprioseptik
5. Catat adanya proses hilang perhatian terhadap salah satu sisi tubuh dan libatkan keluarga untuk membantu mengingatkan
6. Ingatkan untuk menggunakan sisi tubuh yang terlupakan
7. Bicara dengan tenang dan perlahan
8. Lakukan validasi terhadap persepsi klien dan lakukan orientasi kembali
7.
Kurang kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular, kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan persepsi
Kemampuan merawat diri meningkat
Kriteria hasil :
a. mendemonstrasikan perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
b. Melakukan perawatan diri sesuai kemampuan
c. Mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber bantuan
1. Pantau tingkat kemampuan klien dalam merawat diri
2. Berikan bantuan terhadap kebutuhan yang benar-benar diperlukan saja
3. Buat lingkungan yang memungkinkan klien untuk melakukan ADL mandiri
4. Libatkan keluarga dalam membantu klien
5. Motivasi klien untuk melakukan ADL sesuai kemampuan
6. Sediakan alat Bantu diri bila mungkin
7. Kolaborasi: pasang DC jika perlu, konsultasi dengan ahli okupasi atau fisioterapi
8.
Risiko cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran
Klien terhindar dari cedera selama perawatan
Kriteria hasil :
a. Klien tidak terjatuh
b. Tidak ada trauma dan komplikasi lain
1. Pantau tingkat kesadaran dan kegelisahan klien
2. Beri pengaman pada daerah yang sehat, beri bantalan lunak
3. Hindari restrain kecuali terpaksa
4. Pertahankan bedrest selama fase akut
5. Beri pengaman di samping tempat tidur
6. Libatkan keluarga dalam perawatan
7. Kolaborasi: pemberian obat sesuai indikasi (diazepam, dilantin dll)
9.
Kurang pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d. kurang informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber
Pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan meningkat.
Kriteria hasil :
a. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, pengobatan, dan perubahan pola hidup yang diperlukan
1. Evaluasi derajat gangguan persepsi sensuri
2. Diskusikan proses patogenesis dan pengobatan dengan klien dan keluarga
3. Identifikasi cara dan kemampuan untuk meneruskan progranm perawatan di rumah
4. Identifikasi factor risiko secara individual dal lakukan perubahan pola hidup
5. Buat daftar perencanaan pulang

ASKEP GERONTIK REUMATIK


BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. LATAR BELAKANG
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang kompleks terhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH mengindikasikan peningkatan taraf kesehatan warga negara. Namun di sisi lain menimbulkan masalah masalah karena dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut akan berakibat semakin besarnya beban yang ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakan pelayanan dan fasislitas lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena pada usia lanjut individu akan mengalami perubahan fisik, mental, sosial ekonomi dan spiritual yang mempengaruhi kemampuan fungsional dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga menjadikan lansia menjadi lebih rentan menderita gangguan kesehatan baik fisik maupun mental. Walaupun tidak semua perubahan struktur dan fisiologis, namun diperkirakan setengah dari populasi penduduk lansia mengalami keterbatasan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, dan 18% diantaranya sama sekali tidak mampu beraktivitas. Berkaitan dengan kategori fisik, diperkirakan 85% dari kelompok umur 65 tahun atau lebih mempunyai paling tidak satu masalah kesehatan(HealthyPeople,1997).
Dari berbagai masalah kesehatan itu ternyata gangguan muskuloskeletal menempati urutan kedua 14,5% setelah penyakit kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health, Dept. Of Health, 1996). Dan berdasarkan survey WHO di Jawa ditemukan bahwa artritis/reumatisme menempati urutan pertama (49%) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et. al, 1991).
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, jumlah populasi usia lanjut (lansia) juga meningkat. Tahun 1999, jumlah penduduk lansia di Indonesia lebih kurang 16 juta jiwa. Badan Kesehatan Dunia, WHO, memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia 60 juta jiwa, mungkin salah satu terbesar di dunia.
Dibandingkan dengan jantung dan kanker, rematik boleh jadi tidak terlampau menakutkan. Namun, jumlah penduduk lansia yang tinggi kemungkinan membuat rematik jadi keluhan favorit. Penyakit otot dan persendian  ini sering menyerang lansia, melebihi hipertensi dan jantung, gangguan pendengaran dan penglihatan, serta diabetes (Health-News,2007).

  1. B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sbb:
  1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran umum tentang rheumatoid arthritis yang terjadi pada lansia.
  1. Tujuan  Khusus
    1. Mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, serta tanda dan gejala yang terjadi pada lansia penderita rheumatoid artritis.
    2. Mengetahui penatalaksanaan asuhan keperawatan gerontik yang sesuai  diberikan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI
Reumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses inflamasi pada sendi (Lemone & Burke, 2001 : 1248). Reumatik dapat terjadi pada semua jenjang umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut. Namun resiko akan meningkat dengan meningkatnya umur (Felson dalam Budi Darmojo, 1999).
Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh (Hidayat, 2006).
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan sering kali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (www.medicastore.com).
Arthritis adalah istilah medis untuk penyakit dan kelainan yang menyebabkan pembengkakan/radang atau kerusakan pada sendi. Arthritis sendiri merupakan keluarga besar inflammatory degenerative disease, di mana bentuknya sangat beragam, lebih dari 100 jenis arthritis. Istilah arthritis sendiri berasal dari bahasa Yunani /Greek: Arthon /sendi dan it is/radang (www. wrm-Indonesia.org).
Rhematoid artritis adalah peradangan yang kronis sistemik, progresif dan lebih banyak terjadi pada wanita, pada usia 25-35 tahun (Brunner, 2002).
B.ETIOLOGI
Penyebab dari artritis rhematoid belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
1.      Mekanisme imunitas (antigen antibodi) seperti interaksi IgG dari imunoglobulin dengan rhematoid faktor
2.      Faktor metabolik
3.      Infeksi dengan kecenderungan virus
C.PATOFISIOLOGI
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular.  Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi.  Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.  Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.  Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis).  Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian.  Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa adanya serangan dan tidak adanya serangan.  Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi.  Yang lain. terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif.
D.TANDA DAN GEJALA
1.      Tanda dan gejala setempat
q  Sakit persendian disertai kaku terutama pada pagi hari (morning stiffness) dan gerakan terbatas, kekakuan berlangsung tidak lebih dari 30 menit dan dapat berlanjut sampai berjam-jam dalam sehari. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan osteoartritis yang biasanya tidak berlangsung lama.
q  Lambat laun membengkak, panas merah, lemah
q  Poli artritis simetris sendi perifer à Semua sendi bisa terserang, panggul, lutut, pergelangan tangan, siku, rahang dan bahu. Paling sering mengenai sendi kecil tangan, kaki, pergelangan tangan, meskipun sendi yang lebih besar  seringkali terkena juga
q  Artritis erosif à sifat radiologis penyakit ini. Peradangan sendi yang kronik menyebabkan erosi pada pinggir tulang dan ini dapat dilihat pada penyinaran sinar X
q  Deformitas à pergeseran ulnar, deviasi jari-jari, subluksasi sendi metakarpofalangea, deformitas b€outonniere dan leher angsa. Sendi yang lebih besar mungkin juga terserang yang disertai penurunan kemampuan fleksi ataupun ekstensi. Sendi mungkin mengalami ankilosis disertai kehilangan kemampuan bergerak yang total
q  Rematoid nodul à merupakan massa subkutan yang terjadi pada 1/3 pasien dewasa, kasus ini sering menyerang bagian siku (bursa olekranon) atau sepanjang permukaan ekstensor lengan bawah, bentuknya oval atau bulat dan padat.
q  Kronik à Ciri khas rematoid artritis
2.      Tanda dan gejala sistemik
·         Lemah, demam tachikardi, berat badan turun, anemia, anoreksia
Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:
  1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.
  1. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Selain tanda dan gejala tersebut diatasterjadi pula perubahan bentuk pada tangan yaitu bentuk jari swan-neck.
  1. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis, berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang
E.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Tes serologi
·         Sedimentasi eritrosit meningkat
·         Darah, bisa terjadi anemia dan leukositosis
·         Rhematoid faktor, terjadi 50-90% penderita
2.      Pemerikasaan radiologi
·         Periartricular osteoporosis, permulaan persendian erosi
·         Kelanjutan penyakit: ruang sendi menyempit, sub luksasi dan ankilosis
3.      Aspirasi sendi
·         Cairan sinovial menunjukkan adanya proses radang aseptik, cairan dari sendi dikultur dan bisa diperiksa secara makroskopik.
F.PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi adalah:
  1. Meringankan rasa nyeri dan peradangan
  2. memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita.
  3. Mencegah atau memperbaiki deformitas
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
  1. Istirahat
  2. Latihan fisik
  3. Panas
  4. Pengobatan
    1. Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat serum yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml
    2. Natrium kolin dan asetamenofen à meningkatkan toleransi saluran cerna terhadap terapi obat
    3. Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari à mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
    4. Garam emas
    5. Kortikosteroid
    6. Nutrisi à diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
Bila Rhematoid artritis progresif dan, menyebabkan kerusakan sendi, pembedahan dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki fungsi. Pembedahan dan indikasinya sebagai berikut:
1.      Sinovektomi, untuk mencegah artritis pada sendi tertentu, untuk mempertahankan fungsi sendi dan untuk mencegah timbulnya kembali inflamasi.
2.      Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian.
3.      Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan tangan.
4.      Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran pada persendian.
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
A.PENGKAJIAN
1. Riwayat Kesehatan
  • Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada tungkai.
  • Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum pasien mengetahui dan merasakan adanya perubahan pada sendi.
2. Pemeriksaan Fisik
  • Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.
  • Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi sinovial
    • Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
    • Catat bila ada krepitasi
    • Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan
    • Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
      • Catat bia ada atrofi, tonus yang berkurang
      • Ukur kekuatan otot
      • Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya
      • Kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari
3. Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi pad pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image dan harga diri klien.
  1. C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien dengan artritis ditambah dengan adanya data dari pemeriksaan diagnostik, maka diagnosa keperawatan yang sering muncul yaitu:
Tabel Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
1. Keluhan nyeri, ketidaknyamanan, kelelahan, berfokus pada diri sendiri, Perilaku distraksi/ respons autonomic Distensi jaringan akibat akumulasi cairan/proses inflamasi, destruksi sendi Nyeri
2. Keengganan untuk mencoba bergerak/ ketidakmampuan untuk dengan sendiri bergerak dalam lingkungan fisik.
Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan otot/ kontrol dan massa ( tahap lanjut ).
deformitas skeletal,
nyeri, penurunan kekuatan otot
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan.
3. Perubahan fungsi dari bagian-bagian yang sakit. deformitas skeletal,
nyeri, penurunan kekuatan otot
Gangguan Citra Tubuh
4. Ketidakmampuan untuk mengatur kegiatan sehari-hari. kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi Defisit perawatan diri
5. Sering terjatuh Aktifitas menggunakan alat bantu.
Penurunan aktifitas motorik
Hilangnya kekuatan  otot dan sendi,  penurunan kekuatan, Penurunan fungsi sensorik dan motorik.

ASKEP GERONTIK HIPERTENSI


ASUHAN KEPERAWATAN
USILA DENGAN HIPERTENSI


1. Pengertian
Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang ditandai adanya tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi 90 mmHg.

2. Etiologi
Hipertensi dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor antara lain:
- Kelelahan - Proses penuaan
- Keturunan - Diet yang tidak seimbang
- Stress - Sosial budaya
Akibat/ komplikasi dari penyakit hipertensi:
Gagal jantung, gagal ginjal, stroke (kerusakan otak), kelumpuhan.

3. Patofisiologi
Kerja jantung terutama ditentukan oleh besarnya curah jantung dan tahanan perifer. Curah jantung pada penderita hipertensi umumnya normal. Kelainannya terutama pada peninggian tahanan perifer. Kenaikan tahanan perifer ini disebabkan karena vasokonstriksi arteriol akibat naiknya tonus otot polos pembuluh darah tersebut. Bila hipertensi sudah berjalan cukup lama maka akan dijumpai perubahan-perubahan struktural pada pembuluh darah arteriol berupa penebalan tunika interna dan hipertropi tunika media. Dengan adanya hipertropi dan hiperplasi, maka sirkulasi darah dalam otot jantung tidak mencukupi lagi sehingga terjadi anoksia relatif. Keadaan ini dapat diperkuat dengan adanya sklerosis koroner.

4. Tanda dan gejala
- Sakit kepala - Perdarahan hidung
- Vertigo - Mual muntah
- Perubahan penglihatan - Kesemutan pada kaki dan tangan
- Sesak nafas - Kejang atau koma
- Nyeri dada

1. Data dasar pengkajian klien dengan hipertensi
- Aktifitas/ istirahat
Gejala: Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda: Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung
- Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner.
Tanda: Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disarythmia.
- Integritas Ego
Gejala: Ancietas, depresi, marah kronik, faktor-faktor stress.
Tanda: Letupan suasana hati, gelisah, otot mulai tegang.
- Eliminasi
Riwayat penyakit ginjal, obstruksi.
- Makanan/ cairan
Gejala: Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol), mual, muntah, perubahan berat badan (naik/ turun), riwayat penggunaan diuretik.
Tanda: Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem.
- Neurosensori
Gejala: Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital, gangguan penglihatan.
Tanda: Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir,memori, perubahan retina optik.
Respon motorik: penurunan kekuatan genggaman tangan.

- Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala: Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/ masssa.
- Pernafasan
Gejala: Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea, batuk dengan/ tanpa sputum, riwayat merokok.
Tanda: Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/ penggunaan alat bantu pernafasan.
- Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi, cara brejalan.

2. Pemeriksaan Diagnostik
- Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan (viskositas).
- BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal.
- Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).
- Kalsium serum
- Kalium serum
- Kolesterol dan trygliserid
- Px tyroid
- Urin analisa
- Foto dada
- CT Scan
- EKG
Prioritas keperawatan:
- Mempertahankan/ meningkatkan fungsi kardiovaskuler.
- Mencegah komplikasi.
- Kontrol aktif terhadap kondisi.
- Beri informasi tentang proses/ prognose dan program pengobatan.

3. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata, adanya hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi, obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk:
1. Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb.
2. Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
3. Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam.
4. Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.

b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita hipertensi berupa:
- Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat maupun dengan tindakan-tindakan seperti pada pencegahan primer.
- Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara normal dan stabil mungkin.
- Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol.
- Batasi aktivitas.

4. Kemungkinan Diagosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan:
Intoleran aktivitas sehubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan O2.
Tujuan/ kriteria:
- Berpartisipasi dalam aktifitas yang diinginkan/ diperlukan.
- Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktifitas yang dapat diukur.
- Menunjukkan penurunan dalam tanda-tanda intoleransi fisiologi.
Intervensi:
- Kaji respon terhadap aktifitas.
- Perhatikan tekanan darah, nadi selama/ sesudah istirahat.
- Perhatikan nyeri dada, dyspnea, pusing.
- Instruksikan tentang tehnik menghemat tenaga, misal: menggunakan kursi saat mandi, sisir rambut.
- Melakukan aktifitas dengan perlahan-lahan.
- Beri dorongan untuk melakukan aktifitas/ perawatan diri secara bertahap jika dapat ditoleransi.
- Beri bantuan sesuai dengan kebutuhan.

Diagnosa Keperawatan:
Nyeri (akut), sakit kepala sehubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.
Hasil yang diharapkan: melapor nyeri/ ketidaknyamanan berkurang.
Intervensi:
- Pertahankan tirah baring selama fase akut.
- Beri tindakan non farmakologik untuk menghilangkan nyeri seperti pijat punggung, leher, tenang, tehnik relaksasi.
- Meminimalkan aktifitas vasokonstriksi yang dapat meningkatkan nyeri kepala,misal: membungkuk, mengejan saat buang air besar.
- Kolaborasi dalam pemberian analgetika, anti ancietas.



I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan fungsi motorik sekunder terhadap kerusakan neuron motorik atas.

Kriteria:
Klien akan menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
1) Ajarkan klien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit pada sedikitnya empat kali sehari.
R/ Rentang gerak aktif meningkatkan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
2) Lakukan latihan rentang gerak pasif pada ekstremitas yang sakit tiga sampai empat kali sehari. Lakukan latihan dengan perlahan untuk memberikan waktu agar otot rileks dan sangga ekstremitas di atas dan di bawah sendi untuk mencegah regangan pada sendi dan jaringan.
R/ Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak digunakan. Kontraktur pada otot fleksor dan adduktor dapat terjadi karena otot ini lebih kuat dari ekstensor dan abduktor.
3) Bila klien di tempat tidur lakukan tindakan untuk meluruskan postur tubuh.
R/ Mobilitas dan kerusakan fungsi neurosensori yang berkepanjangan dapat menyebabkan kontraktur permanen.
4) Siapkan mobilisasi progresif.
R/ Tirah baring lama atau penurunan volume darah dapat menyebabkan penurunan tekanan darah tiba-tiba (hipotensi orthostatik) karena darah kembali ke sirkulasi perifer. Peningkatan aktivitas secara bertahap akan menurunkan keletihan dan peningkatan tahanan.
5) Secara perlahan bantu klien maju dari ROM aktif ke aktivitas fungsional sesuai indikasi.
R/ Memberikan dorongan pada klien untuk melakukan secara teratur.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik atau persepsi.
Kriteria hasil:
- Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap cedera.
- Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
- Meminta bantuan bila diperlukan.
Intervensi:
1) Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan.
R/ Membantu menurunkan cedera.
2) Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien untuk melakukan:
- Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan.
- Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak terdeteksi.
- Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion emoltion.
R/ Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap suhu.
3) Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan dengan pengunaan alat bantu.
R/ Penggunaan lat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat meyebabkan regangan atau jatuh.
4) Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah.
R/ Klein dengan masalah mobilitas, memerlukan [emasangan alat bantu ini dan
 
TOP